Di Hari Pahlawan Dan Di hotel Majapahit Disurabaya Apa Benarkah Angker ??
Kim Jenny
August 30, 2019
0 Comments
Indonesia - Hotel Majapahit atau dulunya bernama Hotel Yamato atau Hotel Orange tak bisa lepas dari sejarah Hari Pahlawan. Saya tidak ingin membahas tentang Hari Pahlawan. Namun ingin berbagi bagaimana rasa dan pengalaman saat menginap di Hotel Majapahit yang konon angker itu. Simak ulasannya…
Menginap di Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Oranje ini sudah lama aku dambakan. Sejak beberapa kali melakukan duty trip ke kota Pahlawan dan melintas di jalan Tunjungan tempat hotel ini berada, aku selalu bergumam, “suatu saat aku akan menginap di hotel ini”. Entah kenapa, sejak membaca sejarah tentang kepahlawanan para Arek-arek Suroboyo dimana hotel ini dianggap memegang peranan penting, keinginan untuk menginap di sana selalu muncul. Ditambah lagi saat berselancar di dunia maya, beberapa tulisan menyebutkan bahwa hotel ini cukup ‘angker’. Benarkah?
Hingga suatu waktu keinginan itu tercapai. Aku berkesempatan menginap selama 3 malam. Aku memesan kamar executive suite. Konon Hotel ini memiliki arsitektur dan interior menarik bergaya kolonial berpadu dengan ornament furniture etnis Jawa jaman dulu. Tak heran jika beberapa film kerap menggunakannya sebagai lokasi shooting. Diantaranya yang terkenal adalah film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Yang terpenting, hotel ini pernah menjadi saksi yang sangat penting dalam sejarah kepahlawanan Kota Surabaya, hal itu yang ingin aku tahu dan lihat lebih jauh.
Kesan dan nuansa kolonial sudah terasa sejak kita berdiri di depan hotel di pinggir Jalan Tunjungan ini. Gaya Art Deco masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya saat pertama dibangun tahun 1910. Melangkah ke dalam lobby, aku merasakan bulu kudukku berdiri. Nuansa sakral langsung terasa saat berada di dalamnya. Beberapa ornament dari jaman dulu mempercantik ruangan. Yang paling mencolok adalah sebuah mobil Cabriolet Coupemerk Austin Seven hijau milik Bung Tomo yang digunakan saat serangan 10 Nopember 1945. Mobil keluaran Inggris tahun 1937 itu menjadi center of point lobby hotel yang dulunya juga bernama Hotel Yamato.
Aku seperti memasuki ruang dengan dimensi masa lalu saat pertama melangkahkan kaki ke dalam kamar. Meski tak semuanya bergaya kolonial, ruangan yang didominasi furniture kayu membawaku kembali ke jaman dulu. Pencahayaan yang hanya berasal dari lampu duduk, berpadu dengan sofa dan meja kerja dari kayu serta ranjang yang juga berbahan kayu berlapis bed cover putih mengantarkan pikiranku ke jaman kolonial. Yah, di hotel inilah para tentara sekutu Belanda yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pernah menginap. Sejak saat itulah hotel itu menjadi Markas Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran atau Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). (Sumber : Wikipedia Indonesia).
Malam harinya usai menikmati wisata kuliner di Kota Surabaya, aku segera kembali ke hotel. Aku berencana untuk begadang di teras untuk membuktikan berita atau tulisan di beberapa blog yang menyebutkan bahwa hotel ini angker. Konon kerap terdengar suara tangisan ataupun penampakan hantu kuntilanak dan anak kecil yang botak dan orang belanda dari beberapa ruangan.
Jam menunjukkan pukul 11 malam saat aku mulai duduk di teras sambil membaca buku. Biasanya aku suka membaca buku sambil mendengarkan musik lewat headset. Namun kali ini aku sengaja tidak melakukannya. Aku ingin mendengar dan merasakan resonansi yang mungkin saja bergema di tempat itu. Suasana hotel sudah mulai sepi. Tak ada suara kecuali suara fountain (air mancur) di tengah-tengah taman. Sesekali aku melayangkan pandangan ke beberapa bagian hotel. Yang tampak hanya beberapa orang petugas hotel sedang bertugas. Waktu terus berlalu dan aku tetap membaca ditemani secangkir teh yang sudah 2 kali aku isi ulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat 15 menit. Tak terdengar suara apapun. Sunyi dan sepi dalam diam. Hanya suara desir angin semilir sesekali terdengar. Aku tetap melanjutkan aktifitas membaca. Jam menunjukkan pukul 1 malam. Masih tak terdengar atau terlihat apapun. Padahal hotel itu konon kabarnya angker. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamar dan tidur. Mungkin ‘mereka’ yang sering di bicarakan di blog dalam bentuk ‘katanya’ malam itu sedang tidak ingin diganggu atau menggangguku atau bahkan mereka memang tak pernah ada. Lebih baik membuktikan sendiri dari pada percaya pada “katanya”. Hasilnya, tak ada apa-apa!
Aku terbangun menjelang subuh, usai shalat subuh, aku berjalan-jalan di sekitar area hotel. Beberapa ruangan yang memajang pernak-pernik jaman dulu aku masuki. Petugas hotel yang sedang bertugas menyapa. Aku balas dengan senyum penuh semangat pagi. Di beberapa sudut aku berhenti mengambil foto. Langkah kaki perlahan membawaku ke lantai 2 melalui sebuah tangga. Perlahan aku melangkah ke bagian depan dimana terdapat sebuah ruangan tertutup. Sepertinya pintu itu adalah akses menuju ke president suite yang harga menginap per malamnya lumayan. Taman kecil terlihat mempercantik beberapa sudut bangunan di lantai 2 depan gedung berhias jam tua di bagian puncaknya.
Aku terhenyak saat menyaksikan sebuah benda yang terasa begitu sakral dan menggetarkan perasaan, Bendera Merah Putih! Benda bersejarah itulah yang menjadikan Kota Surabaya dan Hotel Yamato ini menjadi terkenal ke seantero jagad. Bagaimana ceritanya? Begini…
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno per tanggal 1 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa bendera merah putih adalah bendera resmi negeri tercinta ini dan harus dikibarkan di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia. Namun di tanggal 19 September 1945 tepatnya jam 9 malam, sekelompok tentara sekutu di bawah pimpinan W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda berwarna merah putih biru di tiang tertinggi Hotel Yamato, tepatnya di sisi sebelah utara. Keesokan harinya ribuan Rakyat Surabaya yang mengetahui hal itu beramai-ramai memadati Jalan Tunjungan dan berkumpul di depan hotel. Residen Kota Surabaya bernama Sudirman masuk ke dalam hotel setelah
menembus barikade massa dikawal oleh Sidik dan Hariyono. Tujuannya tak lain adalah untuk meminta Ploegman menurunkan bendera merah putih biru dari puncak hotel. Permintaan itu ditolak Ploegman yang malah mengeluarkan pistol bermaksud mengancam dan menunjukkan kekuasaannya. Suasana perundingan berlangsung alot dan memanas karena Ploegman tetap bersikukuh untuk tidak
menurunkan bendera Belanda. Sidik yang saat itu ikut berunding lalu terlibat perkelahian lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Sidik sendiri tewas akibat berondongan peluru dari senjata tentara Belanda yang mendengar letusan pistol Ploegman dari luar ruang pertemuan. Sudirman dan Hariyono berlari keluar hotel bergabung bersama ribuan rakyat Surabaya yang sudah mengepung Hotel Yamato. Rakyat Surabaya yang mengetahui bahwa permintaan
mereka ditolak malah semakin terbakar jiwa patriotismenya. Semangat pantang menyerah yang menjadi senjata andalan Arek Suroboyo kembali bergelora. Hariyono yang tadinya ikut perundingan kembali ke dalam hotel ditemani Kusno Wibowo, Mereka berdua menyusuri lorong-lorong yang ada di dalam hotel dan naik ke lantai 2. Mereka lalu memanjat tangga menuju ke tiang dimana bendera Belanda berkibar. Dengan semangat dan jiwa patriotisme, mereka menurunkan bendera merah putih biru kemudian merobek warna birunya lalu kembali menaikkan bendera merah putih yang kembali berkibar dengan gagahnya. Teriakan “Merdeka” pun menggema di langit Kota Surabaya demi mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme warga Kota Surabaya yang dengan penuh semangat membalas teriakan “merdeka!” (Sumber : Insiden Hotel Yamato, Wikipedia)
Langkah-langkah kaki Hariyono dan Kusno saat akan ke atas hotel untuk merobek bendera Belanda dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih itulah yang aku coba napak tilasi di Kota Pahlawan, Surabaya. Selamat Hari Pahlawan, negeriku tercinta.