Infomasi Penting : SITUS REKOMENDASI DARI KAMI SAAT INI ADALAH JPOKER99.COM dan JBANDAR.COM, MIN DEPO RENDAH WINRATE MANTAP, SILAKAN DI GAS BOSKU

Monday 30 March 2020

Legenda Jaka Seger dan Rara Anteng

March 30, 2020 0 Comments
Masterceme, Legenda - Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur, Indonesia. Legenda yang mengisahkan tentang percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma (Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.

Legenda Jaka Seger dan Rara Anteng

di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya terus merintih menahan rasa sakit.

Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.

“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja Majapahit itu.

“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas.

“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar! Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang mungil di depan istrinya.

Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang diam atau tenang.

Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.

Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada orang lain.

MasterCeme Merupakan Agen Judi Poker Domino QQ CEME Capsa Susun Samgong Super10 Omaha Poker Online Indonesia Terbaik  dan Terpercaya

Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.

Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.

“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng.

“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada membentak.

Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa gugupnya.

“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara Anteng.

Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah mudah baginya.

“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?” tanya raksasa itu dengan nada angkuh.

“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan raksasa itu.

Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal lelah.

Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal beberapa kali kerukan lagi.

“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas, “raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”

Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.

Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera menghentikan pekerjaannya membuat danau yang sudah hampir selesai itu.

“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”

Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok. Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu menjelma menjadi sebuah kawah yang juga masih dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.

Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia.

Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga, tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.

“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada istrinya.

“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.

MasterCeme Merupakan Agen Judi Poker Domino QQ CEME Capsa Susun Samgong Super10 Omaha Poker Online Indonesia Terbaik  dan Terpercaya

Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang di antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.”

Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun diketahui sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian, buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. 

Kebahagiannya pun semakin sempurna ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan lagi anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak mereka berjumlah dua puluh lima orang.

“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!” ucap Jaka Seger.

Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun menegurnya melalui mimpi.

“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara itu dalam mimpi Jaka Seger.

Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari mimpinya.

“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-putriku yang harus kupersembahkan, padahal aku sangat menyayangi mereka semua?”

Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk dijadikan persembahan.

“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati muda,” sahut anak sulungnya keberatan.

“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya akan binasa,” jelas Jaka Seger.

Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi penjelasan ayahandanya.

“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.

Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai keberanian dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.

“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa Kusuma?” tanya ayahnya.

“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu permintaan.”

“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.

Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun diterima oleh seluruh anggota keluarganya.

MasterCeme Merupakan Agen Judi Poker Domino QQ CEME Capsa Susun Samgong Super10 Omaha Poker Online Indonesia Terbaik  dan Terpercaya

Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal Desa Tengger terhindar dari bencana.


Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki garis tengah lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek wisata menarik di kawasan Gunung Bromo. Untuk mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma, masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada (kepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Pesen moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban demi kebahagiaan kedua orang tua dan demi keselamatan masyarakat umum. Sifat ini tergambar pada sifat dan perilaku Dewa Kusuma yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan keluarga dan seluruh penduduk Desa Tengger dari kebinasaan.

Selamat datang di Masterceme
Hanya 1 user id bisa memainkan 7 jenis permainan.
Minimal Deposit & Withdraw hanya 25.000/50.000
Bonus New Member 20%
Bonus Deposit Harian
Bonus Referal Sebesar 20%
Link : Masterceme{dot}com
WA : +85578968600

 Daftar Sekarang

Saturday 28 March 2020

Legenda Datu Pujung Asal - Usul Bekatan Di Pulau Kaget

March 28, 2020 0 Comments
Masterceme, Legenda - Pada zaman dahulu, di daerah Kuin pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Banjar, yang diperintah oleh Sultan Suriansyah-Sultan Kerajaan Banjar I (1520 – 1550 M.). Konon, pada masa pemerintahaannya, Sultan Suriansyah pernah mendapat ancaman bahaya dari luar. Sebuah kapal asing yang tidak diundang berlabuh di Muara Sungai Kuin. Sikap angkuh para anak buah kapal itu menunjukkan bahwa kedatangan mereka tampaknya mempunyai maksud yang tidak baik. Hal ini diketahui oleh Sultan Suriansyah, yang segera mengumpulkan seluruh punggawa kerajaan untuk mengadakan musyawarah.

Legenda Datu Pujung Asal - Usul Bekatan Di Pulau Kaget

Dalam musyawarah itu, seorang peserta musyawarah mengusulkan, bahwa untuk menghadang kapal para tamu yang tidak diundang itu, mereka harus membuat barikade dengan menanam pohon-pohon yang besar di dasar sungai. Namun, karena waktunya sangat mendesak, tidak satu pun punggawa kerajaan yang hadir dalam musyawarah mampu melakukan hal itu. Hanya orang sakti yang bisa melakukannya. Kebetulan, dalam rapat itu hadir seorang tua mengenakan jubah yang tidak dikenal oleh Sultan. Dengan sopan, ia meminta izin kepada Sultan untuk melakukan pekerjaan itu sesuai dengan kemampuan dan caranya sendiri. 

Setelah meminta izin, orang tua itu pun tiba-tiba menghilang. Siapa sebenarnya orang tua yang berjubah itu? Mampukah dia membarikade kapal asing itu? Penasaran kan? Ikuti kisahnya dalam cerita Datu Pujung berikut ini.

pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Banjar. Rajanya bernama Sultan Suriansyah. Pada masa itu, hiduplah seorang laki-laki yang sudah tua. Masyarakat di sekitarnya memanggilnya si Pujung. Karena usianya yang sudah tua, ia juga sering dipanggil Datu Punjung. Ia sangat arif dan bijaksana serta menguasai banyak ilmu, sehingga ia dijadikan sebagai panutan oleh warga sekitarnya. Namun anehnya, tak seorang pun yang mengetahui asal usulnya.

MasterCeme Merupakan Agen Judi Poker Domino QQ CEME Capsa Susun Samgong Super10 Omaha Poker Online Indonesia Terbaik  dan Terpercaya

Pada suatu hari Kerajaan Banjar kedatangan tamu yang tidak diundang. Sebuah kapal berbendera asing bergerak menuju pelabuhan Muara Sungai Barito, yaitu Muara Kuin atau Delta Kuin. Beberapa penduduk negeri segera mengayuh jukung kecil menyongsong kedatangan kapal itu. Penduduk negeri terheran-heran melihat bentuk kapal yang panjang dan besar itu. Keheranan mereka tidak hanya itu, tetapi juga anak buah kapalnya yang berkulit salau, berambut pirang seperti rambut jagung, dan bermata biru seperti air laut. Sikap mereka yang ada di dalam kapal itu menunjukkan keangkuhan.

Mengetahui hal itu, beberapa penduduk negeri segera memberi tahu penguasa negeri. Sadarlah Sultan Suriansyah, sang Penguasa negeri, bahwa kerajaannya kedatangan tamu yang tidak diundang dan mempunyai maksud yang tidak baik terhadap negerinya. Sultan Suriansyah segera mengumpulkan para punggawa Kerajaan Banjar untuk mengadakan musyawarah. Untuk mengantisipasi serangan mendadak dari tamu asing tersebut, Sultan Suriansyah pun menyiagakan seluruh prajuritnya di sekitar istana.

Seluruh para punggawa telah berkumpul. “Aku mempunyai firasat kalau kedatangan orang-orang yang ada di dalam kapal besar itu akan membawa bencana di negeri kita. Sebelum kapal itu berlabuh di pelabuhan dan masuk ke pusat kerajaan, sebaiknya kita tempatkan barikade di muara sungai,” titah Sultan Suriansyah dalam musyawarah itu.

“Mohon ampun, Baginda. Muara sungai sangat dalam dan berarus deras. Untuk membuat barikade, tidak ada pilihan lain kecuali meramu pohon-pohon yang besar dan batangnya tinggi. Pohon-pohon tersebut selanjutnya kita tancapkan ke dasar sungai,” saran salah seorang punggawa. Usulan itu ternyata diterima oleh seluruh peserta musyawarah, termasuk Sultan Suriansyah. “Bentuk dan bahannya terserah kalian!” seru Sultan Suriansyah memberikan putusan.

Legenda Datu Pujung Asal - Usul Bekatan Di Pulau Kaget

“Mengingat waktunya sangat mendesak dan kemampuan kita sangat terbatas, bagaimana kalau kita membuat sayembara? Barang siapa yang mampu meramu dan menancapkan batang kayu ke dasar sungai, akan kita berikan hadiah yang besar,” usul punggawa lainnya. “Aku setuju usulan itu,” ujar Sultan Suriansyah.

“Tapi…Baginda. Hanya orang yang memiliki kesaktian yang mampu melakukan pekerjaan itu,” komentar petugas pelabuhan. “Benar, Baginda! Kita tidak pernah mendengar ada warga di kerajaan ini yang memiliki kesaktian seperti itu,” tambah punggawa lainnya. “Wah, kalau begitu, rencana ini kita batalkan. Kita cari cara yang lainnya,” sambung Sultan Suriansyah. Ucapan Sultan membuat suasana menjadi hening. Seluruh peserta yang hadir hanya terdiam dan menunduk. 

Tiba-tiba, suasana keheningan menjadi pecah mendengar suara dari arah belakang. “Hamba pikir itu saran yang sangat bagus,” ujar seorang yang mengenakan jubah. Semua pandangan tertuju kepadanya.

“Bagus memang. Tapi siapa orang yang sanggup melaksanakan pekerjaan seberat itu dalam waktu singkat? Apakah kamu sanggup…?” bantah seorang punggawa dengan nada sedikit melecehkan. Peserta musyawarah lainnya pun tertawa. Keadaan itu segera ditenangkan oleh ketukan palu Sultan Suriansyah pada meja di depannya. “Teruskan bicaramu!” titah Sultan Suriansyah.

“Baiklah, Baginda. Hamba memang belum selesai berbicara. Rupanya ada di antara kita yang tidak sabaran,” kata orang yang duduk paling belakang itu merendah. Lalu ia menjelaskan kepada seluruh peserta musyawarah, “Perlu diketahui, meramu kayu memerlukan waktu yang lama. Apalagi, menancapkan kayu-kayu ke dasar sungai bukanlah pekerjaan yang mudah. Musuh kita dalam kapal layar tersebut akan cepat mengetahui. Tidak mustahil mereka akan menyerang sebelum barikade diselesaikan.”

“Lalu bentuk barikade bagaimana yang mesti kita buat?” tanya Sultan Suriansyah penasaran.

“Jika dipercaya, izinkan hamba mengerjakannya menurut kemampuan dan cara hamba. Hamba jamin kapal asing itu akan kandas di Muara Sungai Barito. Namun, perlu diingat bahwa pekerjaan ini hamba lakukan bukan karena memburu hadiah, tapi demi keamanan negeri kita. Permisi!” orang itu langsung berdiri dan berkelebat, kemudian hilang dari pandangan mata para peserta musyawarah. Sultan Suriansyah tercengang-cengang menyaksikan kejadian itu. “Siapa orang itu tadi?” tanya Sultan Suriansyah kepada seorang yang duduk paling dekat dengan orang yang baru saja pergi. “Datu Pujung, Baginda,” jawab orang itu dengan penuh hormat.

Malam semakin gelap. Di atas kapal asing itu terlihat beberapa anak buah kapal sedang berjaga-jaga. Mereka mondar-mandir sambil menenteng senjata. Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Mereka merasakan kapal sedang miring ke kanan. Belum sempat berkata-kata, mereka sudah terjatuh ke sungai. Tak lama, kapal miring ke kiri. Penjaga di sebelah kiri kapal juga terjatuh ke sungai. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, kapten kapal segera membunyikan tanda bahaya. Sejumlah anak buah kapal yang bersenjata lengkap keluar dari ruangan dalam kapal. Di atas geladak, mereka melihat seseorang berjubah putih yang tidak dikenal. 

Mereka segera mengejar dan mengepungnya. Ketika orang berjubah putih sudah tersudut di haluan kapal, kapten kapal pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya, “Jangan biarkan dia lolos. Tangkap dia hidup-hidup!”


Karena tidak mungkin lagi menghindar, orang berjubah putih itu tiba-tiba menghentakkan kakinya ke geladak kapal dan menyebabkan kapal berderak pecah. Orang berjubah putih itu pun jatuh ke sungai. Namun, dengan satu lompatan yang ringan, ia sudah berada jauh di buritan kapal. Anak buah kapal yang berjaga di buritan terkesiap. Tanpa menunggu perintah dari kapten kapal, ia menembak orang berjubah itu dengan sebuah tembakan, sehingga bergema memecah keheningan malam. Anak buah kapal melihat si Jubah Putih terkapar di geladak. Rupanya tembakan mereka mengenainya. Karena belum yakin si Jubah Putih sudah mati, mereka melakukan tembakan salvo ke tubuh yang terkapar itu, diikuti tusukan serempak lebih dari selusin bayonet.

“Ha…, ha …, itu hanya bajuku,” terdengar suara lantang di sudut kapal. Karena gelapnya malam, semua mata awak kapal disipitkan ke sumber suara. Mereka melakukan tembakan salvo ke arah suara itu. Sejumlah anak buah kapal di posisi itu bertumbangan terkena sasaran tembakan kawannya sendiri. Tak lama, suara lantang dengan nada terdengar kembali, “Mata kalian kurang jeliii…!” Sumber suara itu dari arah kemudi kapal. Tembakan salvo anak buah kapal mengarah ke sumber suara itu. Seorang anak buah kapal menjadi sasaran tembakan itu sehingga terkapar tak berdaya.

Si Jubah Putih, rupanya sudah bosan bermain kucing-kucingan dengan anak buah kapal yang goblok tersebut. “Cukup!” seru suara itu. Tiba-tiba terlihat bayangan putih melambung tinggi-tinggi dan kemudian meluncur ke arah geladak kapal. Sekali hentakan, kapal itu terbelah menjadi dua. Anak buah kapal dan seluruh isi kapal tenggelam seketika ke dasar Sungai Barito.

Dengan demikian, selamatlah Kerajaan Banjar dari acaman berbahaya itu. Sultan Suriansyah dan para punggawa kerajaan serta seluruh penduduk negeri sangat gembira. Sultan Suriansyah pun mengadakan kenduri besar, sebagai tanda syukur karena terhindar dari bencana. Sesuai dengan janjinya, sang Sultan memberi imbalan atas jasa-jasa dan pengabdian Datu Pujung terhadap negeri. Sang Sultan menghadiahi Datu Pujung berupa pangkat, jabatan, emas berlian dan makanan yang banyak sekali.

Sesuai dengan janjinya pula, Datu Pujung tidak rela menerima semua pemberian sang Sultan. “Hadiah pangkat dan jabatan hamba terima dengan senang hati. Namun, saat ini izinkan hamba untuk mengembalikannya kepada Tuanku! Hamba tidak layak diberi pangkat dan jabatan. Hamba kembalikan juga semua makanan dan barang mewah ini. Hamba hanya seorang diri. 

Selembar baju yang ada sudah lebih dari cukup hamba gunakan sebagai penutup aurat. Hamba tidak pernah kekurangan makanan. Bumi Tuhan ini sangat luas dan setiap jengkal tanahnya menjadikan rezeki bagi yang mau berusaha. Barangkali ada warga kerajaan yang lebih membutuhkan. Ke sanalah sebaiknya hadiah ini Tuanku berikan,” Datu Pujung menolak segala macam hadiah dengan halus.

“Mulia benar hatimu,” puji Sultan Suriansyah. “Terima kasih atas pujian Baginda!”, ucap Datu Pujung seraya berpamitan, “Hamba mohon pamit, Baginda!”
Dalam sekejap mata, Datu Pujung tiba-tiba menghilang dari pandangan Sultan Suriansyah. Sejak saat itu, Datu Pujung tidak pernah kembali lagi ke Kerajaan Banjar.

MasterCeme Merupakan Agen Judi Poker Domino QQ CEME Capsa Susun Samgong Super10 Omaha Poker Online Indonesia Terbaik  dan Terpercaya

Setelah peristiwa di atas, potongan-potongan kapal asing yang tenggelam di Muara Sungai Barito itu, lama kelamaan tertimbun lumpur dan membentuk sebuah delta. Oleh masyarakat sekitar, tempat itu disebut dengan Pulau Kaget. Pulau ini terletak di Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sementara, para anak buah kapal itu dikutuk oleh Datu Pujung berganti wujud menjadi bekantan yang sekarang menjadi penghuni pulau tersebut. Hidung binatang itu mancung-mancung seperti bentuk hidung awak kapal dalam cerita di atas.

Cerita rakyat ini termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral dalam cerita tersebut di antaranya adalah sikap hidup sederhana. Sikap ini tercermin pada sikap Datu Pujung ketika ia menolak pemberian hadiah dari Sultan Suriansyah. Dengan selembar pakaian yang melekat di tubuhnya, ia sudah merasa lebih dari cukup. Datu Pujung merasa bahagia dengan hidup sederhana.

Pola hidup sederhana memang sangat mulia. Orang yang pola hidupnya sederhana akan terhindar dari rasa kesombongan dan lebih mudah meraba penderitaan orang lain. Pola hidup sederhana merupakan suatu kekuatan untuk mengendalikan keinginan-keinginan. Oleh karena itu, hendaklah kita membudayakan hidup sederhana dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan keluarga. Jika orang tua telah memberikan contoh kepada anak-anaknya tentang kesederhanaan, maka anak itu akan terjaga dari merasa lebih dari orang lain dan dari hidup bermewah-mewah.

Selamat datang di Masterceme
Hanya 1 user id bisa memainkan 7 jenis permainan.
Minimal Deposit & Withdraw hanya 25.000/50.000
Bonus New Member 20%
Bonus Deposit Harian
Bonus Referal Sebesar 20%
Link : Masterceme{dot}com
WA : +85578968600

 Daftar Sekarang


Thursday 26 March 2020

Legenda Terbentuknya Pulo Kemaro Di Sumatra Selatan

March 26, 2020 0 Comments
Masterceme, Lagenda - Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang mengisahkan asal mula terjadinya Pulau Kemaro di daerah Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Menurut cerita, pulau tersebut merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke Sungai Musi hingga tewas. Peristiwa tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut disebabkan oleh tindakan ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun Ann, putra Raja Negeri Cina. Kecerobohan apa yang telah dilakukan oleh Tan Bun Ann? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Pulo Kemaro berikut ini.

Legenda Terbentuknya Pulo Kemaro Di Sumatra Selatan

di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun dan tutur bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan perangainya mengundang decak kagum para pemuda di Negeri Palembang. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena kedua orang tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.

Pada suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina bernama Tan Bun Ann untuk berniaga di Negeri Palembang. Putra Raja Cina itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin mengembangkan usahanya

Sebagai seorang pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk memberitahukan maksud kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun, Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri Cina. Jika diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu beberapa lama untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.

“Baiklah, Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi dengan syarat kamu harus menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta Raja Sriwijaya.
Tan Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu, setiap minggu ia pergi ke istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan dagangannya. 

Suatu ketika, ia bertemu dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat wajah Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati. Demikian sebaliknya, Siti Fatimah pun menaruh hati kepadanya. Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena merasa cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk menikahinya.

Pada suatu hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun, Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta restu. Jika diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja Cina yang kaya raya.

“Baiklah, Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja Sriwijaya.

“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.

“Kamu harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.

Tanpa berpikir panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.

“Baiklah, Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.

Tan Bun Ann pun segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk menyampaikan surat kepada kedua orang tuanya. Selang beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan kepada Tan Bun Ann. Surat balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas pernikahan mereka dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka. Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan keselamatan guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka melapisinya dengan sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.

Saat mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan Siti Fatimah bersama keluarganya serta seorang dayang setianya segera berangkat ke dermaga di Muara Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut. Setibanya di dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci tersebut.

“Mana guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang utusannya.
“Kami menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu seraya menuju ke kamar kapal tempat guci-guci tersebut disimpan.

Setelah utusan itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari kamar kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu. Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.

“Oh, betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa diremehkan dengan barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann dalam hati dengan perasaan kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi.

Dengan penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Setelah membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk. Bertambah kecewalah hati putra Raja Cina itu. Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi satu persatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Ketika ia hendak melemparkan guci yang terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh ke lantai kapal dan pecah. 

Legenda Terbentuknya Pulo Kemaro Di Sumatra Selatan

Betapa terkejutnya ia saat melihat emas-emas batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut tersimpan emas batangan. Ia bersama seorang pengawal setianya segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci yang berisi emas tersebut.

Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan calon suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di permukaan air sungai. Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari Negeri Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai, ia berpesan kepada orang yang ada di atas kapal itu.
“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian pesan Siti Fatimah.

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di tepi Sungai Musi. Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau. Masyarakat setempat menyebutnya Pulo Kemaro. Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.

Demikianlah Legenda Pulo Kemaro dari daerah Palembang, Sumatra Selatan. Pulau Kemaro yang terletak sekitar lima kilo meter di sebelah timur Kota Palembang ini memiliki luas kurang lebih 24 hektar. Kini, Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek wisata menarik, khususnya wisata budaya dan religius, di Palembang. Setiap perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek) ribuan masyarakat Cina (baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Di pulau itu terdapat sebuah kuil sebagai tempat peribadatan, dan di dalamnya terdapat gundukan tanah yang diyakini makam Siti Fatimah, dan dua gundukan tanah yang agak kecil yang diyakini makam pengawal Tan Bun Ann dan makam dayang Siti Fatimah.

Di Pulau Kemaro juga terdapat sebuah pohon langka yang disebut “Pohon Cinta”, yang dilambangkan sebagai ritus “cinta sejati” antara dua bangsa dan budaya berbeda pada zaman dahulu, yaitu antara Siti Fatimah dari Negeri Palembang dan Tan Bun Ann dari Negeri Cina. Konon, jika pasangan muda-mudi yang sedang menjalin hubungan kasih mengukir nama mereka di pohon itu, maka cinta mereka akan berlanjut sampai ke pelaminan. Itulah sebabnya, pulau ini disebut juga “Pulau Jodoh”.
Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sikap ketergesa-gesaan dapat membuat seseorang kurang teliti dalam melakukan sesuatu, sehingga pekerjaan atau masalah yang dihadapinya tidak mampu diselesaikannya. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Tan Bun Ann yang karena tidak ketidaksabarannya ingin menunjukkan emas tersebut kepada Raja Sriwijaya, sehingga membuatnya kurang teliti ketika memeriksa guci-guci tersebut. Akibatnya, guci-guci yang berisi emas batangan tersebut dibuangnya ke sungai, yang pada akhirnya menyebabkan ia tenggelam dan tewas.

Selamat datang di Masterceme
Hanya 1 user id bisa memainkan 7 jenis permainan.
Minimal Deposit & Withdraw hanya 25.000/50.000
Bonus New Member 20%
Bonus Deposit Harian
Bonus Referal Sebesar 20%
Link : Masterceme{dot}com
WA : +85578968600

 Daftar Sekarang

Tuesday 24 March 2020

Kisah La Moelu Si Anak Yatim Yang Baik Hati

March 24, 2020 0 Comments
Jpoker99, Cerita Rakyat - La Moelu adalah seorang anak laki-laki miskin yang masih berumur belasan tahun. Ia tinggal bersama ayahnya yang sudah tua renta di sebuah dusun di daerah Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Berkat kerja keras, kesabaran, dan ketekunannya, La Moelu menjadi seorang yang kaya raya. Bagaimana lika-liku perjalanan hidup La Moelu sehingga menjadi kaya raya? 

Kisah La Moelu Si Anak Yatim Yang Baik Hati

di sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki yatim bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak pula. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah-tengah kawanan ikan itu. Setelah itu, ia duduk menunggu sambil bersiul-siul. Anehnya, sudah cukup lama ia menunggu, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya.


“Hei, ke mana perginya kawanan ikan itu? Padahal tadi aku melihat mereka bermunculan di permukaan air,” gumam La Moelu heran.

Hari semakin siang. La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Mulanya, ia berniat untuk berhenti memancing. Namun karena penasaran terhadap kawanan ikan tersebut, akhirnya ia pun memutuskan untuk meneruskannya.

“Ah, aku tidak boleh putus asa! Barangkali saja ikan-ikan tersebut belum menemukan umpanku,” pikirnya.

Alhasil, beberapa saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Ketika kailnya terangkat, tampaklah seekor ikan kecil yang mungil terkait di ujung kailnya. Meski hanya memperoleh ikan kecil, hati La Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu sangat indah. Akhirnya, ia pun membawa pulang ikan itu untuk ditunjukkan kepada Ayahnya. Sesampainya di rumah, ayahnya pun merasa senang melihat ikan itu.

“Ikan apa yang kamu bawa itu, Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya dengan perasaan kagum.

“Entahlah, Ayah!” jawab La Moelu.

“Sebaiknya ikan ini diapakan, Ayah?” tanya La Moelu.

“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Kalaupun pun dimasak pasti tidak cukup untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.

Orang tua renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu ke dalam kembokyang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya. Keesokan harinya, betapa terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar kembok. Ayahnya pun terperanjat saat melihat kejadian aneh itu.

“Pindahkan segera ikan itu ke dalam lesung!” perintah sang Ayah.

Mendengar perintah itu, La Moelu pun segera mengisi lesung itu dengan air, lalu memasukkan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang Ayah pun segera menyuruh La Moelu agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari berikutnya, ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari wadah untuk menyimpan ikan itu.

“Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini, Ayah?” tanya La Moelu bingung.

Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan ikan itu ke dalam drum yang berada di samping rumah mereka. La Moelu segera memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut. Keesokan harinya, ikan itu sudah sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena mereka tidak memiliki lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu membawa ikan itu ke laut.

La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia memberi nama ikan itu dan berpesan kepadanya.

“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika aku memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan memberimu makan!” ujar La Moelu.

Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang dan gembira karena bisa berenang dengan bebas di samudera luas.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.

“Jinnande Teremombonga…!!!”

Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya. Setelah makan, ikan itu kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap pagi.

Pada suatu pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande Teremombonga, ada tiga orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang rimbun. Mereka adalah keluarga yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat seekor ikan raksasa mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget. Melihat hal itu, maka timbullah niat jahat mereka ingin menangkap ikan itu.

“Kawan-kawan! Ayo kita tangkap ikan itu!” seru salah seorang dari mereka.

“Tunggu dulu! Kita jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu pulang, setelah itu barulah kita menangkap ikan itu,” cegah seorang pemuda yang lain.

Setelah La Moelu kembali ke rumahnya, ketiga pemuda itu segera turun dari pohon lalu berjalan menuju ke tepi laut. Sesampainya di tepi laut, salah seorang di antara mereka maju beberapa langkah lalu berteriak memanggil ikan itu.


““Jinnande Teremombonga…!!!”

Dalam sekejap, Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang berteriak memanggilnya itu bukan tuannya, ikan itu segera kembali berenang ke tengah laut.

“Hai, kenapa ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang berteriak tadi.

“Ah, barangkali dia takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang mencoba memanggilnya,” kata pemuda yang lainnya seraya maju ke tepi laut.

Tidak berapa lama setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga datang lagi. Ketika melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal melihat perilaku ikan itu. Mereka pun bingung untuk bisa menangkap ikan itu.

Setelah berembuk, ketiga pemuda tersebut menemukan satu cara, yakni salah seorang dari mereka akan berteriak memanggil ikan itu, sementara dua orang lainnya akan menombaknya. Ternyata rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu datang ke tepi laut, kedua pemuda yang sudah bersiap-siap segera menombaknya. Ikan itu pun mati seketika. Mereka memotong-motong daging ikan itu lalu membagi-baginya. Setiap orang mendapat bagian satu pikul. Setelah itu, mereka membawa pulang bagian masing-masing. Betapa senangnya hati keluarga mereka saat melihat daging ikan sebanyak itu.

Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggilnya.

“Jinnande Teremombonga..!!!”

Sudah cukup lama La Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Berkali-kali ia berteriak memanggil dengan suara yang lebih keras, tapi ikan itu tak kunjung datang ke tepi laut. La Moelu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande Teremombonga.

“Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya sekali memanggil dia sudah datang. Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali memanggilnya, dia belum juga muncul. Apakah ada orang yang telah menangkapnya?” gumam La Moelu.

Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak kunjung datang. Akhirnya, La Moelu pun kembali ke rumahnya dengan perasaan kesal dan sedih. Dalam perjalanan pulang, ia selalu memikirkan nasib ikan kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menasehatinya.

“Sudahlah, Anakku! Barangkali ikan itu pergi mencari teman-temannya ke tengah samudra sana,” ujar ayahnya.

Pada malam harinya, La Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah mencuri ikannya. Kebetulan pada saat itu, pemuda itu sedang makan bersama keluarganya. Saat melihat lauk yang mereka makan dari daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu teringat pada Jinannande Teremombonga.

“Wah, jangan-jangan ikan yang mereka makan itu si Jinnande Teremombonge,” pikirnya.

La Moelu pun menanyakan dari mana mereka memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu enggan untuk memberitahukannya, namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia pun menceritakan semuanya.

“Tadi pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya kenapa, hai anak yatim? Apakah kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?” tanya pemuda itu dengan nada mengejek.

Betapa sedihnya hati La Moelu setelah mendengar cerita pemuda itu. Ternyata dugaannya benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah sedih ketika pemuda itu menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun yang diberikan kepadanya ternyata hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda itu.

Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh pemuda itu. Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang ikan itu agar dapat mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya.

Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh terjadi pada kuburan itu, di atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya.

‘Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di depan rumah kita!” ajak La Moelu.

Ayah La Moelu pun segera keluar dari rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua renta itu melihat tanaman ajaib itu.

“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh di sini?” tanya ayah La Moelu dengan heran.

La Moelu pun menceritakan semua sehingga tanaman ajaib itu tumbuh di depan rumah mereka. Ayah La Moelu pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang Mahakuasa yang diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu tumbuh menjadi besar. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih berganti berdatangan ingin menyaksikannya.

Semakin hari, tanaman itu semakin besar. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga, dan buahnya sedikit demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia tabung. Lama kelamaan La Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia senantiasa membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah menangkap ikan kesayangannya. Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat hormat dan sayang kepada La Moelu. La Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.

Yuk Segera Bergabung Bersama Kami Di Jpoker99 kami menyediakan 8 Jenis Permainan Dalam 1 ID bosku. Tidak perlu " 

Download Apk " karena Dijamin Poker Kami Bisa bermain Langsung Lewat HP Atau Pun Lewat Komputer bosku.
~ 8 Jenis Permainan ( Sakong, BANDAR POKER, Poker Texas Holdém, Domino99, BandarQ, AduQ, Capsa Susun, Bandar66 )
~ Deposit Pulsa Rate Tertinggi Buat Anda Bosku ( Telkomsel & XL )
~ Minimal Deposit 10 ribu
~ Minimal Withdraw 20 ribu
~ Tersedia 7 Bank Lokal Juga
~ Bank Online 24jam Kecuali Gangguan
~ Bebas Melakukan Transaksi DP / WD Dalam Satu Hari.
~ Bonus CashBack 0,3% 2x Seminggu / Bonus Referral 20% 
~ WA : +85578811422

 Daftar Sekarang

Saturday 21 March 2020

Cerita Putri Gading Cempaka

March 21, 2020 0 Comments
Jpoker99 - Putri Gading Cempaka berasal dari cerita rakyat daerah Bengkulu Utara. Putri Gading Cempaka adalah anak bungsu dari Raja Ratu Agung. Raja Ratu Agung sendiri berasal dari Kerajaan Majapahit. Berdasarkan cerita, Putri Gading Cempaka merupakan leluhur dari raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, Bengkulu Utara.

pada zaman dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi, pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Serut. Ratu Agung, seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit, merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Sungai Serut. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi.

Cerita Putri Gading Cempaka

Ratu Agung memerintah Kerajaan Sungai Serut dengan arif bijaksana. Ia sangat disegani oleh rakyatnya, meskipun rakyat yang dipimpinnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi besar.

Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra Ratu Agung adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka.

Menurut cerita, kerajaan Sungai Serut menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meski usia Putri Gading Cempaka baru beranjak remaja, namun kecantikan wajahnya sudah terlihat nampak mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran datang untuk meminangnya, namun Ratu Agung menolak semuanya karena sang Putri masih belum cukup umur.

Raja Ratu Agung Wafat

Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, Ratu Agung mengalami sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.

“Wahai, anak-anakku. Sepertinya Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia. Oleh karenanya, Ayahanda menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata Ratu Agung kepada putra-putrinya.

Mendengar perkataan ayahandanya, wajah putra-putrinya menjadi sedih, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun menetes membasahi pipinya.

“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah.” Putri Gading Cempaka menangis terisak-isak seraya merangkul ayahandanya.

“Putriku tersayang, ajal kita semua ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak akan mampu menahan jika ajal telah tiba.” ujar Raja Ratu Agung berusaha menenangkan hati putrinya.


Ayahanda mereka kemudian menyampaikan wasiatnya, “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Ayah menyerahkan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada putraku Anak Dalam. Ayah berharap kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka. Dan seandainya suatu saat nanti Kerajaan Sungai Serut ditimpa musibah besar, Ayah minta kalian menyingkirlah ke Gunung Bungkuk. Kelak di Gunung Bungkuk akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.“

Penyerahan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada Anak Dalam dapat diterima oleh putra-putrinya dengan baik. Kelima saudara tuanya sama sekali tidak memiliki rasa iri hati. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta.

Beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Hati Putri Gading Cempaka hancur berkeping-keping tidak rela melepas kepergian ayahandanya. Namun, sang Putri hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.

Pangeran Anak Dalam Menjadi Raja Kerajaan Sungai Serut

Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah seorang pemimpin adil bijaksana. Ia beserta keenam saudaranya senantiasa hidup rukun damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat Kerajaan Sungai Serut kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima.

Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sang Pangeran datang bersama pasukannya menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana Kerajaan Sungai Serut untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.

“Mohon ampun, Baginda Raja Anak Dalam. Kami adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau tengah menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.

“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.

“Sebenarnya maksud kedatangan kami ke mari adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Raja Muda Aceh kepada Putri Gading Cempaka.” jawab sang utusan.

Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak saudara-saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan Pangeran Raja Muda untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.

“Maafkan kami, wahai utusan Pangeran Raja Muda Aceh. Kami memutuskan untuk tidak menerima pinangan Pangeran Raja Muda Aceh.” kata Raja Anak Dalam.

Jawaban Raja Anak Dalam membuat para para utusan Pangeran Aceh terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.

“Sungguh keterlaluan! Mereka berani menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.

Perang Antara Kerajaan Aceh Dengan Kerajaan Sungai Serut
Merasa dikecewakan, Pangeran Muda Aceh menjadi marah. Ia lantas menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Sungai Serut akhirnya tak terhindarkan. Perang akhirnya berlangsung hingga berhari-hari dengan memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Menurut cerita rakyat, perang ini menjadi asal usul nama Bengkulu.

Raja Anak Dalam beserta seluruh pasukannya merasa sudah tidak tahan lagi dengan peperangan tersebut. Mereka juga sudah tak sanggup menahan bau busuk mayat para prajurit yang telah gugur. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.

“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika Kerajaan Sungai Serut sudah tidak aman, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.

Akhirnya, Raja Anak Dalam beserta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.


Sepeninggal Raja Anak Dalam Ke Gunung Bungkuk, Kerajaan Sungai Serut menjadi kacau. Mendengar kabar kekosongan kekuasaan di Kerajaan Sungai Serut, datanglah empat bangsawan Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan. Menurut cerita, pertikaian keempat bangsawan tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti, seorang pengelana dari Kerajaan Pagaruyung. Ia adalah seorang utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja.

Akhirnya, keempat bangsawan tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Kerajaan Sungai Serut. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung Kerajaan Pagaruyung. Sejak saat itu Kerajaan Sungai Serut berganti nama menjadi Kerajaan Bangkahulu.


Maharaja Sakti Menjadi Raja Kerajaan Bangkahulu
Setelah dinobatkan menjadi Raja Bangkahulu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu, diiringi oleh ratusan pengawal. Keempat bangsawan yang tadinya bertikai juga ikut mengiringi sang Raja. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di Kerajaan Bangkahulu pun telah disiapkan. Namun, ketika upacara akan dimulai, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, lalu turunlah hujan sangat deras diiringi angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara penobatan akhirnya ditunda hingga cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.

Malam harinya, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh sang bidadari basah terkena air hujan. Sang Bidadari kemudian pergi menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan perihal mimpinya kepada keempat bangsawan. Para bangsawan kemudian meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.

“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawa Sang Putri kembali kemari, maka Baginda akan membawa kerajaan ini kembali menjadi sebuah kerajaan yang kuat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap si peramal.

Mendengar penjelasan si peramal, sang Baginda pun berhasrat meminang Putri Gading Cempaka. Ia lalu mengutus keempat bangsawan beserta beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam.

Maharaja Sakti Menikahi Putri Gading Cempaka

“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Beliau adalah penguasa Kerajaan Bangkahulu yang dahulunya merupakan Kerajaan Sungai Serut. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan.

Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.

Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan Sungai Lemau dengan arif bijaksana. Ia beserta permaisurinya, Putri Gading Cempaka, hidup bahagia.

Yuk Segera Bergabung Bersama Kami Di Jpoker99 kami menyediakan 8 Jenis Permainan Dalam 1 ID bosku. Tidak perlu " 

Download Apk " karena Dijamin Poker Kami Bisa bermain Langsung Lewat HP Atau Pun Lewat Komputer bosku.
~ 8 Jenis Permainan ( Sakong, BANDAR POKER, Poker Texas Holdém, Domino99, BandarQ, AduQ, Capsa Susun, Bandar66 )
~ Deposit Pulsa Rate Tertinggi Buat Anda Bosku ( Telkomsel & XL )
~ Minimal Deposit 10 ribu
~ Minimal Withdraw 20 ribu
~ Tersedia 7 Bank Lokal Juga
~ Bank Online 24jam Kecuali Gangguan
~ Bebas Melakukan Transaksi DP / WD Dalam Satu Hari.
~ Bonus CashBack 0,3% 2x Seminggu / Bonus Referral 20% 
~ WA : +85578811422

 Daftar Sekarang

Follow Us @soratemplates