Masterceme, Misteri - Sejak akhir September lalu, layar bioskop Tanah Air dimeriahkan oleh film bergenre horor: Pengabdi Setan.
Film remake karya sutradara Joko Anwar tersebut memang fenomenal. Tak hanya filmnya yang laris manis dan menembus angka dua juta pentonton, rumah tempat syuting pun kini menjadi lokasi wisata.
Bahkan, agen wisata perjalanan, SocioTraveler, mengadakan “Tur Misteri Pengabdi Setan” di rumah yang berlokasi di Kertamanah, Pengalengan, Bandung Selatan.
Menurut sang sutradara, rumah tempat lokasi syuting film tersebut merupakan rumah perkebunan yang sudah ada sejak zaman Belanda, yakni sekitar awal abad ke-20.
Laiknya rumah-rumah tuan tanah (landhuis) pada masanya, rumah tesebut sangat kental mewakili arsitektur bergaya Indis. Lantas seperti apa arsitektur Indis?
Rumah bergaya Indis (Indische) kerap ditemui di abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya kolonial Belanda dengan budaya lokal, khususnya Jawa.
Djoko Soekiman dalam buku “Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII – Medio Abad XX” berpendapat, penggunaan istilah “gaya Indis” adalah tempat untuk menamakan gaya seni yang muncul pada abad ke-18 di Hindia Belanda.
Menurutnya, istilah “Indis” dirasakan sebagai kata hinaan yang meletakkan Indonesia sebagai bangsa kelas rendah.
Pada awal kedatangan warga Belanda ke Tanah Air, rumah-rumah dibuat serupa dengan rumah-rumah di Eropa dengan ciri-ciri: atap runcing, jendela kecil, dan dinding tebal. Bangunan seperti ini masih dapat kita temui di kawasan Kota Tua Jakarta.
Memang, bangunan seperti ini cocok di negara-negara Eropa dengan iklim subtropis. Namun, di kawasan tropis seperti Indonesia, bangunan tersebut terasa panas dan pengap.
Seiring berjalannya waktu, warga Belanda di Indonesia mengadopsi komponen arsitektur lokal dan muncullah bangunan Indis: bangunan bergaya Eropa, namun sesuai untuk dihuni di daerah tropis.
Pemerintah kolonial Belanda bahkan menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung, baik milik pemerintah maupun swasta.
Sepintas, rumah bergaya Indis tampak seperti bangunan tradisional dengan atap joglo atau limasan.
Bangunan bergaya Indis biasanya dibuat tinggi, dimana bagian depan rumah dibuat terbuka dengan tiang-tiang berderet yang menimbulkan kesan megah.
Serambi muka digunakan sebagai ruang penerimaan tamu dan resepsi, sedangkan serambi belakang adalah ruang keluarga. Dari situ kamar-kamar dalam bangunan samping dapat diawasi dan didatangi dengan mudah.
Perbandingan atap dengan dinding bangunan pun tidak proporsional. Biasanya atap berbentuk limas lebih tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dari dinding.
Sementara itu bukaan jendela dibuat besar. Kedua hal ini dimaksudkan agar suhu di dalam rumah tetap terasa nyaman.
Ornamen hias yang biasa disematkan di rumah bergaya Indis antara lain berupa lempengan batu andesit yang dicat hitam dengan nat berwarna putih di bagian bawah dinding luar rumah.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, banyak orang menganggap arsitektur Indis sebagai simbol budaya kolonial yang tidak bisa dijadikan kebanggaan, sehingga eksistensinya tak lagi bisa dipertahankan.
No comments:
Post a Comment